KEBIASAAN ANDA PARA ORANG TUA YANG BISA MEMBUAT ANAK BERPERILAKU BURUK
Kebiasaan 1 :
Raja yang tak pernah salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan
belajar jalan, tidak jarang tanpa sengaja menabrak kursi/meja. Lalu
menangis. Umumnya yang dilakukan orang tua agar tangisan anak berhenti
adalah dengan memukul kursi/meja, sambil mengatakan, “Siapa yang nakal
ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup…cup…diem ya…”
Akhirnya si anak pun terdiam.
Apa akibatnya?
Ketika proses pemukulan terhadap benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak bahwa ia tidak pernah bersalah.
Yang salah orang/benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga
ia dewasa. Akibatnya setiap ia mengalami peristiwa dan terjadi
kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah oranglain, dan dirinya
selalu benar, sehingga yang pantas di hukum adalah orang lain yang
tidak melakukan kesalahan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Yaitu mengajari ia untuk bertanggung
jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian
yang menurutnya terasa sakit) :“Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya?
Lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu, supaya tidak
membentur lagi.
Kebiasaan 2 :
Berbohong kecil dan sering
Pada saat kita terburu-buru pergi
bekerja, anak kita meminta ikut. Apa yang kita lakukan? Apakah kita
menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih
berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah
itu kita buru-buru pergi? Atau kita mengatakan, “Papa hanya sebentar
kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, sayang.” Tapi
ternyata, kita pulang malam.
Apa akibatnya?
Dari contoh diatas, jika kita berbohong
ringan/bohong kecil, dapat mengakibatkan anak tidak percaya lagi dengan
kita sebagai orang tua. Mereka tidak bisa membedakan pernyataan kita
yang bisa dipercaya atau tidak, sehingga anak menganggap semua yang
diucapkan orang tuanya adalah bohong dan mulai tidak menuruti
segala perkataan kita. Awalnya, anak-anak kita adalah anak yang selalu
mendengarkan kata-kata orang tuanya, karena mereka sepenuhnya percaya
pada orang tuanya. Namun setelah anak beranjak besar mereka mulai tidak
menurut. Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering
membohongi anak untuk menghindari keinginannya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah jujur kepada anak. Ungkapkan
dengan penuh kasih dan pengertian : Sayang, Papa mau pergi bekerja.
Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo papa libur dan pergi ke kebun binatang,
kamu bisa ikut. Hal ini memang membutuhkan waktu lebih untuk memberi
pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis karena ia belum
memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari.
Kita perlu sabar dan beri pengertian kepada mereka secara terus
menerus. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu.
Kebiasaan 3 :
Banyak mengancam
Pada saat kita melihat si Kakak sedang
menggangu adiknya, kita sering mengatakan dengan berteriak dari tempat
duduk kita, “Jangan ganggu adik, nanti papa/mama marah!”
Apa akibatnya?
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya
melarang dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari
tempat duduk atau tanpa menghentikan aktifitas kita, bagi mereka itu
sudah merupakan suatu ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “…nanti
papa/mama marah.”
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu berteriak-teriak
seperti itu. Cukup dekati si anak. Tatap matanya dengan lembut, namun
perlihatkan bahwa ekspresi kita tidak senang dengan tindakan mereka,
dan dipertegas dengan kata-kata, “Sayang, Papa/mama mohon supaya kamu
boleh meminjamkan mainan ini kepada adikmu. Bila kamu tidak mau
meminjamkannya, Papa/Mama akan menyimpan mainan ini dan kalian berdua
tidak bisa bermain. Mainan akan Papa/Mama keluarkan, bila kamu mau
meminjamkannya pada adikmu dan Papa/mama akan makin sayang sama kamu.”
Tepati pernyataan kita itu dengan tindakan nyata.
Kebiasaan 4 :
Bicara tidak tepat sasaran
Pernahkah kita menghardik anak dengan
kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu begini atau begitu!”
atau “Papa/Mama tidak mau melihat kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun
kita tidak menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal-hal yang kita
inginkan.
Apa akibatnya?
Anak tidak mengerti apa yang diingini
oleh orang tuanya, sehingga yang terserap oleh anak adalah hal-hal yang
tidak disukai oleh orang tuanya, sehingga anak terus mencoba hal yang
baru dan dari sekian banyak percobaan yang baru tersebut, ternyata
selalu dikatakan salah oleh orang tuanya. Hal ini yang mengakibatkan
mereka berbalik untuk dengan sengaja melakukan hal-hal yang tidak
disukai orang tuanya dengan tujuan untuk membuat kesal orang tuanya
karena tindakannya selalu salah dihadapan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah hal-hal yang kita inginkan
secara intensif pada saat kita menegur mereka terhadap perilaku atau
hal yang tidak kita sukai. Dan pada waktunya, ketika mereka sudah
memahami dan melakukan segala hal yang kita inginkan, ucapkanlah terima
kasih dengan tulus dan penuh sayang atas segala usahanya untuk
berubah.
Kebiasaan 5 :
Menekankan pada hal-hal yang salah
Kita selaku orang tua sering mengeluhkan
perilaku anak-anak kita yang tidak pernah akur dan selalu bertengkar.
Apa yang kita lakukan? Melerai atau memarahi semua pihak. Lalu kita
ingat-ingat lagi, apa yang kita lakukan bila mereka bermain dengan akur
atau tidak bertengkar? Seringkali kita mendiamkan mereka bukan? Tidak
menyapa mereka karena beranggapan tidak perlu dan mereka sudah bermain dengan baik dan tidak bertengkar.
Apa akibatnya?
Dengan menganggap tidak perlu itulah
yang membuat mereka terpicu untuk kembali bertengkar, karena dengan
bertengkar, mereka mendapat perhatian dari orang tuanya. Dengan
mendiamkan mereka karena tidak bertengkar, membuat mereka juga tidak
tahu bila kita senang dengan kerukunan itu.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah pujian setiap kali mereka
bermain dengan asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara
mereka dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misalnya :”Nah,
gitu dong kalau main. Yang rukun dan mau saling meminjamkan. Papa/Mama
senang dan tambah sayang.” Lalu peluklah mereka sebagai ungkapan senang
dan sayang.
Kebiasaan 6 :
Merendahkan diri sendiri
Bila anak anda terlalu asyik bermain
play station sehingga mengalahkan jam belajar, apa yang anda lakukan?
Mungkin kita sering mengatakan :”Ayo, matikan play station-mu itu. Awas
ya, nanti dimarahi sama papa kalo pulang dari kerja.” Kita selalu
menggunakan ancaman dengan figur yang ditakuti oleh si anak.
Apa akibatnya?
Dengan menggunakan ancaman, kita tidak
sadar telah mengajarkan kepada anak bahwa mereka akan menurut jika
mereka ditakut-takuti dahulu.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkan aturan main sebelum kita bicara,
setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada
serius bahwa kita ingin ia berhenti bermain sekarang atau berikan
pilihan, misal : “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi
sekarang atau lima menit lagi? Bila jawabannya, “lima menit lagi
pa/ma.” Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit,
kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit, dengan
terpaksa Papa/Mama simpan hingga lusa.” Setelah persis lima menit,
dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa
kompromi dan tawar menawar lagi. Jika dia tidak menepati pilihannya,
langsung laksanakan konsekuensinya segera.
Kebiasaan 7 :
Papa dan Mama tidak kompak
Seorang ibu meminta anaknya yang
menonton televisi terus menerus untuk mengerjakan tugas sekolahnya,
tapi pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan
mengatakan bahwa tidak masalah bila menonton televisi terus, dengan
alasan supaya anaknya tidak stres.
Apa akibatnya?
Anak-anak pada umumnya belum dapat
memahami nilai benar dan salah. Mereka lebih cepat menangkap rasa yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya, sehingga si anak
memberi nilai bahwa ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya, setiap
kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung
di balik pembelaan bapaknya. Perlahan tapi pasti, anak akan belajar
untuk terus melawan terhadap ibunya. Demikian sebaliknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Untuk itu diperlukan peranan orang tua
dalam mendidiknya. Peran itu bukan tugas ibu saja atau bapak saja, tapi
keduanya. Ketika orang tua tidak kompak dalam mendidik anak-anaknya,
maka anak tidak akan pernah menjadi lebih baik. Dihadapan anak, jangan
sampai berbeda pendapat untuk hal-hal yang berhubungan langsung dengan
persoalan mendidik anak. Apabila ada pandangan yang berbeda dalam
mendidik anak, bicarakan hal ini secara pribadi dengan pasangan kita.
Kebiasaan 8 :
Campur tangan Kakek, Nenek, Tante atau pihak lain
Pada saat kita sebagai orang tua sudah
berusaha untuk kompak satu sama lain dalam mendidik anak-anaknya,
tiba-tiba ada pihak ke-3, yaitu kakek, nenek, om, tante atau pihak lain
di luar keluarga inti, yang muncul dan cenderung membela si anak.
Apa akibatnya?
Bila dalam satu rumah terdapat pihak di
luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat orang tua mendidik,
anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya, anak
juga cenderung melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun
yang tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik
dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh
kita sebagai orang tua. Berikan pengertian sedemikian rupa dengan
bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.
Kebiasaan 9 :
Menakuti anak
Pada saat anak kita menangis dan kita
berusaha untuk menenangkannya, kita sering mengatakan kepada si anak
:”Eh, kalo nangis terus nanti disuntik lho …” atau “Kalo kamu nangis
terus, Papa/mama panggil pak satpam ya.” Anak akhirnya memang cenderung
untuk berhenti menangis atau merengek dan menuruti kita.
Apa akibatnya?
Dengan pernyataan ancaman atau
menakut-nakuti, sebenarnya kita telah menanamkan rasa tidak suka atau
benci pada institusi atau pihak yang kita sebutkan. Anak akan tidak
suka atau takut dengan figur dokter/satpam. Pernyataan
mengancam/menakuti akan semakin dipahami anak sebagai kebohongan orang
tua seiring perjalanan tumbuh kembang anak.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah jujur dan berikan pengertian
pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena
sesungguhnya anak-anak juga mampu berpikir dewasa. Jika anak minta
dibelikan permen katakan padanya akibat yang dapat ditimbulkan pada
gigi dari pemanis buatan itu. Jika anak tetap memaksa, katakanlah
dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis,
tapi papa/mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak kita
yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.
Kebiasaan 10 :
Ucapan dan tindakan tidak sesuai
Ada sebagian orang tua yang menetapkan
pola asuhnya dengan menggunakan cara memberi penghargaan dengan pujian
atau bahkan hadiah untuk kebaikan yang dilakukan oleh anaknya.
Contohnya “Jika kamu mau membersihkan tempat tidurmu, maka di akhir
pekan papa/mama mengajakmu jalan-jalan”. Dan pada akhir pekan, ternyata
kita tidak dapat memenuhi janjinya, sehingga anak kita menjadi marah.
Apa akibatnya?
Anak memiliki ingatan yang tajam
terhadap suatu janji, jika kita tidak menepati janji, maka kita tidak
dipercaya oleh anak dan selanjutnya, anak mulai tidak mau menuruti yang
kita minta.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah mudah mengumbar janji pada
anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mau mengikuti permintaan
kita. Pikirlah dahulu sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa
memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi
segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk
menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti
janji itu.
Kebiasaan 11 :
Hadiah untuk perilaku buruk anak
Pada saat kita bersama anak berada di
tempat umum, si anak minta dibelikan mainan. Lalu kita katakan tidak
boleh. Si anak terus merengek dan rengekannya semakin kuat hingga
menjadi teriakan dan ada gerakan perlawanan. Kita tetap mengatakan
tidak boleh. Dan pada saat kita berada di antrian bayar kasir, dia
merengek lagi dengan kekuatan penuh untuk membuat kita malu di depan
umum. Dan akhirnya, tibalah saat yang dinantikan oleh anak dengan
mendengar pernyataan dari kita sebagai orang tua : “Ya sudah, kamu
ambil satu. Satu saja ya!”.
Apa akibatnya?
Saat kita memberi pernyataan, …”Ya
sudah, kamu ambil satu.” … kita telah memberikan hadiah pada perilaku
buruk yang dilakukannya. Dan sejak saat itu juga, anak mempelajari
sesuatu bahwa untuk bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkan maka dia
harus membuat perlawanan yang cukup heboh di tempat yang “strategis”.
Anak mempelajari bahwa apa pun permintaannya dapat dikabulkan bila
melalui perlawanan yang gigih. Kejadian ini akan terus diulangi dan
diuji-cobakan pada permintaan yang lain.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tetaplah berlaku konsisten, tidak perlu
malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang ‘tega’ atau ‘kikir’.
Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak. Sekali kita konsisten,
anak tak akan pernah mencobanya lagi. Ingat sekali lagi : tetaplah
KONSISTEN dan pantang menyerah! Apa pun alasannya, jangan pernah
memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.
Kebiasaan 12 :
Merasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang terbaik
Dalam kehidupan saat ini, dimana
sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktunya di kantor/ tempat
kerja daripada bersama anaknya, menyebabkan banyak orang tua merasa
bersalah atas situasi ini. Akibatnya para orang tua menyetujui perilaku
buruk anaknya dengan ungkapan yang sering dilontarkan, “Biarlah dia
seperti ini mungkin karena saya juga yang jarang bertemu dengannya…”
Apa akibatnya?
Semakin orang tua merasa bersalah
terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak
kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan
semakin sering ia melakukannya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Apa pun yang bisa kita berikan secara
benar pada anak kita adalah hal yang terbaik. Tiap keluarga memiliki
masalah yang unik, tidak sama. Ada orang punya kelebihan pada aspek
financial tapi miskin waktu bertemu dengan anak, sebaliknya ada yang
punya banyak waktu bersama tapi kekurangan dari sisi ekonomi. Jadi
yakinlah bahwa dalam kondisi apa pun kita tetap bisa memberikan yang
terbaik. Jadi, jangan pernah memaklumkan hal-hal yang tidak baik.
Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu,
gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya dengan
anak kita. Menyisihkan waktu di antara sisa-sisa tenaga kita, memang
tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, maka akan
terbiasa.
Kebiasaan 13 :
Mudah menyerah dan pasrah
Pernahkah kita mengucapkan kata-kata :
“Duh.. anak saya itu memang keras betul…saya tidak sanggup lagi untuk
mengaturnya.” Atau “Biar sajalah, terserah apa maunya. Saya sudah tidak
sanggup lagi untuk mendidiknya.”
Apa akibatnya?
Dalam kondisi kita sebagai orang tua
tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih tegas.
Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan dan mengatur
orang tuanya. Akibat lebih lanjut orang tua sulit mengendalikan
perilaku anaknya dan cenderung pasrah.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajar dan berusahalah dengan keras
untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak
keteguhan hati dan pantang menyerah. Bila kita mudah menyerah, kepada
siapa kita akan melimpahkan tugas kita ini dalam mendidik anak?
Kebiasaan 14 :
Marah yang berlebihan
Pernahkah kita memarahi anak kita karena
melakukan kesalahan karena kelengahan kita menjaga mereka? Bahkan
tidak jarang kita melakukan kekerasan fisik.
Apa akibatnya?
Sering kita menyamakan persepsi antara
mendidik dan memarahi. Perlu diingat, memarahi adalah cara mendidik
yang paling buruk. Pada saat memarahi anak, kita tidak sedang mendidik
mereka, melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kita karena tidak
bisa mengatasi masalah dengan baik dan merupakan upaya untuk
melemparkan kesalahan pada anak kita. Dan setelah selesai marah kita
akan menyesal dan cenderung tidak konsisten terhadap apa yang telah
kita tetapkan. Rasa menyesal ini juga sering kita ganti dengan
memberikan dispensasi atau membolehkan hal-hal yang sebelumnya kita
larang. Bila hal ini terjadi, anak kita akan selalu berusaha memancing
kemarahan kita, kemudian kita kembali menyesal dan si anak menikmati
hasilnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah bicara pada saat marah!
Pergilah menghindar hingga amarah reda. Setelah itu bicara “tegas” dan
bukan berbicara “keras”. Bicara tegas adalah bicara dengan nada yang
datar, dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam-dalam.
Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita rasional. Sedangkan
bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi, sehingga
kata-kata kita tidak bisa terkontrol. Anak yang dimarahi cenderung
tidak bertambah baik, ia akan menimpali dengan kesalahan yang sama.
Maka bertindaklah tegas jika kita ingin anak kita menjadi lebih baik.
Kebiasaan 15 :
Gengsi untuk menyapa
Kita pasti pernah mengalami bahwa kita
telanjur marah besar terhadap anak, biasanya amarah terbawa selama
berhari-hari, sehingga hubungan kita dengan anak menjadi renggang.
Apa akibatnya?
Akibat rasa kesal yang masih tersisa dan
ditambah “gengsi”, kita enggan menyapa anak kita. Masing-masing pihak
menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita sebagai orang tua yang harus
memulai saat anak mulai menunjukkan tanda-tanda perdamaian dan
mengikuti keinginan kita, jangan tunda lagi, dan bukalah pembicaraan
dengannya. Ajaklah kembali bicara seperti biasanya, jika perlu mintalah
maaf atas apa yang telah terjadi diantara kita dan anak kita. Anak pun
akan ikutan meminta maaf, sehingga tanpa disadari oleh si anak, dia
akan merasa bahwa kita tidak suka pada sikap anak kita dan bukan pada
pribadi anak kita.
Kebiasaan 15 :
Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Kebanyakan orang tua bila melihat anak
berperilaku usil dan suka mengganggu, cenderung mengatakan : “Ya,
maklumlah namanya juga anak-anak…”
Apa akibatnya?
Karena kita selalu memaklumi tindakan
keliru yang dilakukan oleh anak-anak, otomatis si anak berpikir bahwa
perilakunya saat ini sudah benar, karena tidak ada teguran.
Sehingga ia akan selalu mengulangi tindakan keliru atau buruk itu. Akan
berdampak lebih buruk lagi, bila perilaku ini dipertahankan hingga ia
dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu memaklumi suatu hal
yang tidak perlu dimaklumi. Kita harus mendidik setiap anak tanpa
kecuali dengan tegas (ingat : bukan keras) sejak usia 2 tahun. Semakin
dini usianya, semakin mudah untuk diajak kerja sama. Ia akan mau diajak
bekerja sama selama kita selalu mengajaknya berdialog dari hati ke
hati, tegas dan konsisten. Tidak perlu menunggu hingga usianya beranjak
dewasa. Semakin bertambah usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk
mengubah perilaku buruknya.
Kebiasaan 17 :
Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa sering kita sebagai orang tua
mengungkapkan pernyataan seperti, “Awas ya, kalau kamu ikut Papa/mama,
tidak boleh nakal!” atau “Awas, kalo mau ikut Papa/mama jangan
macam-macam ya”.
Apa akibatnya?
Kita sering menggunakan istilah-istilah
yang tidak memiliki maksud yang jelas seperti istilah “nakal” atau
“jangan macam-macam”. Istilah ini akan membingungkan anak kita. Dalam
benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku
seperti apa yang masuk dalam kategori nakal, dan perilaku apa yang
masuk kategori macam-macam. Selain bingung, anak juga akan
menebak-nebak arti dari istilah nakal atau macam-macam. Sehingga,
mereka mencoba-coba untuk mengetahui perilaku yang masuk kategori nakal
atau macam-macam itu.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah dengan jelas dan spesifik,
misalnya, “Sayang, bila kamu ingin ikut Papa/mama, kamu tidak boleh
minta mainan, permen dan tidak boleh berteriak di kasir seperti minggu
lalu ya”. Sehingga anak jelas memahami keinginan kita dan berusaha
memenuhinya. Jangan lupa untuk menetapkan kesepakatan bersama apa
konsekuensinya jika hal itu dilanggar.
Kebiasaan 18 :
Mengharap perubahan instan
Ketika anak terlambat bangun, tidak
membereskan tempat tidur atau sulit dimandikan, kita ingin bahwa anak
kita berubah total dalam jangka waktu sehari.
Apa akibatnya?
Karena terbiasa hidup dalam budaya
“instan” seperti mie instan, susu instan, the instan, sehingga setiap
anak berbuat salah, kita sering ingin sebuah perubahan yang instan
juga. Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam
waktu singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit
memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memnuhi keinginan kita, ia akan
frustasi dan tidak yakin bisa melakukannya lagi. Akibatnya ia memilih
untuk melakukan perlawanan seperti banyak memberi alasan, acuh tak acuh
atau marah-marah.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita mengharapkan perubahan
kebiasaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan-tahapan perubahan
yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan yang
tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin ajak ia melakukan perubahan
dari hal yang paling mudah. Biarkan ia memilih hal yang paling mudah
menurutnya uantuk diubah. Jika ia berhasil, itu akan memotivasi anak
untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu
dirayakan setiap perubahan yang berhasil dilakukannya, sekecil dan
sesederhana apa pun perubahan tersebut. Ini untuk menunjukkan betapa
seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah dilakukannya.
Pusatkan pujian kita pada usaha kerasnya dan jangan memusatkan pada
hasilnya yang kadang-kadang kurang memuaskan kita.
Kebiasaan 19 :
Pendengar yang buruk
Suatu hari anak kita pulang terlambat,
seharusnya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat
keterangn apa pun darinya dan kita merasa kesal menunggu, sekaligus
juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita
langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan
setiap anak hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia malah
tidak mau bicara dan marah pada kita.
Apa akibatnya?
Pada saat seperti itu, yang sangat
dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan dan ingin
diperhatikan. Padahal keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas
mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak mendapat kesempatan untuk
berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik
untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Mulai saat ini jadilah pendengar yang
baik. Perhatikan setiap ucapan ceritanya, sehingga kita mengetahui
permasalahan secara utuh dan benar. Cukup dengarkan dahulu dengan
memberi tanggapan antusias dan empati. Tahanlah untuk tidak berkomentar
apa pun sampai anak kita mengatakan, “Menurut Papa/mama bagaimana?”.
Ingatlah pesan yang disampaikan oleh Tuhan melalui anggota tubuh kita,
yaitu Tuhan memberi kita 2 telinga dan 1 mulut, yang artinya Tuhan
menghendaki kita 2 kali mendengarkan dan 1 kali berbicara. Dan jangan
dibalik.
Kebiasaan 20 :
Selalu menuruti permintaan anak
Apakah anak kita adalah anak semata
wayang? Atau anak laki-laki yang ditunggu-tunggu dari beberapa anak
perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang sudah 10 tahun
ditunggu-tunggu baru kita dapatkan? Fenomena ini seringkali menjadikan
orang tua teramat sayang pada anaknya, sehingga setiap kemauan anak
selalu dituruti.
Apa akibatnya?
Seperti seorang raja kecil, semakin hari
tuntutannya semakin aneh-aneh dan kuat. Jika ini sudah menjadi
kebiasaan maka kita akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik
dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal
toleransi dan tidak bisa bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun sayangnya kita pada anak
jangan pernah memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak
harus ditunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Jika kita
benarsayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai baik dan buruk,
yang benar dan salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan.Kita harus
menerapkan pola asuh sesuai tipologi sifat dasarnya. Jika tidak, rasa
sayng kita akan “kebablasan” dan menjadikannya anak yang “semau gue”
atau egois/manja.
Kebiasaan 21 :
Terlalu banyak larangan
Seberapa banyak kita jumpai orang tua
yang ingin menjadikan anaknya seperti apa yang dia inginkan secara
sempurna (Perfectionist)? Yang cenderung membentuk anaknya sesuai
dengan keinginannya, anaknya harus begini dan tidak boleh begitu,
dilarang melakukan ini dan itu. Hal tersebut terkadang dilakukan secara
berlebihan, sampai-sampai hal yang paling pribadi pun ikut-ikutan
diaturnya.
Apa akibatnya?
Anak tercipta untuk menjadi dirinya
sendiri dengan cara yang benar sesuai nilai-nilai yang berlaku. Pada
saat kita menerapkan pola asuh perfectionist, pada saatnya anak tidak
tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik
dengan cara menyakiti diri, dengan perlawanan tersembunyi atau dengan
perang terbuka.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kurangilah sifat kita yang perfeksionis.
Berilah ijin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan
positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog. Bangunlah situasi saling
mempercayai antara kita dan anak kita. Kurangilah jumlah larangan yang
berlebihan. Gunakan kesepakatan-kesepakatan untuk memberikan batas yang
lebih baik.
Kebiasaan 22 :
Terlalu cepat menyimpulkan
Pada saat anak pulang terlambat dan
hendak menceritakan penyebabnya, kita memotong pembicaraan dengan
mengatakan, “sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”. Atau “ Ah,
Papa/mama tahu, kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”.
Apa akibatnya?
Kita cenderung memotong pembicaraan pada
saat anak kita sedang memberikan penjelasan dan segera menentukan
kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal
kesimpulan kita belum tentu benar dan seandainya benar cara ini akan
menyakitkan hati si anak, sehingga anak akan menyimpulkan bahwa kita
adalah orang tua yang sok tahu, tidak mau memahami keadaan dan
menyebalkan. Dan akibatnya anak malah akan benar-benar melakukan
hal-hal yang kita tuduhkan kepadanya. Ia tidak pernah mau mendengarkan
nasihat kita dan ia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah memotong pembicaraan dan
mengambil kesimpulan terlalu dini. Dengarkan, dengarkan dan dengarkan
sambil memberi tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya bahwa kita
akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita sudah selesai dengan
penjelasannya.
Kebiasaan 23 :
Mengungkit kesalahan masa lalu
Seringkali kita mengungkit-ungkit
catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita, contohnya, “Tuh kan
Papa/mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang
kejadian kan. Makanya dengerin kalo orang tua ngomong. Dasar kamu
memang anak bebal sih”.
Apa akibatnya?
Kita berharap, dengan mengungkit
kejadian masa lalu mengenai catatan kesalahannya, anak akan belajar
dari masalah. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ia akan sakit hati
dan berusaha mengulangi kesalahan-kesalahannya sebagai tindakan
pembalasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak ingin anak kita
berperilaku buruk lagi, jangan pernah mengungkit-ungkit lagi masa
lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkul anak kita.
Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahannya. Ungkapkan
pernyataan seperti, “Y, sayang kita semua manusia biasa, setiap orang
pasti pernah keliru dan salah. Papa/mama yakin ini adalah pelajaran
berharga buat kita semua dan mulai besok kamu yang memutuskan yang
terbaik”. Dan bila ternyata anak kita yang mengungkit kekeliruannya di
masa lalu, kita cukup memberikan anggukan kepala serta pujian bahwa dia
mau belajar dari pengalaman. Berilah pujian dengan ungkapan, “Kamu
memang anak papa yang luar biasa. Papa bangga kamu bisa mengambil
hikmah positif dari kejadian yang kamu alami”.
Kebiasaan 24 :
Suka membandingkan
Kebanyakan orang tua, entah sadar atau
tidak justru sering membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain/
satu sama lain. Contohnya, “Coba kalo kamu mau rajin belajar seperti
kakak, pasti nilai rapor kamu tidak seperti ini!”.
Apa akibatnya?
Jika kita sering melakukan kebiasaan
membandingkan satu dengan yang lain, maka akan mengakibatkan anak makin
tidak menyukai kita dan merasa iri dan benci pada si pembanding.
Sementara itu, anak si pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Anak yang sering dibandingkan akan menjadi anak pemangkang dan
berperilaku makin buruk serta berupaya menjatuhkan si pembanding dengan
berbagai cara. Kita secara tidak sadar telah memicu pertengkaran
diantara anak-anak kita sendiri.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekali-kali
membanding-bandingkan satu dengan lainnya, karena setiap anak terlahir
dengan membawa perbedaan. Catat perubahan perilaku masing-masing anak.
Jika ingin membandingkan, bandingkanlah perilaku anak yang sama dimasa
lalu dengan perilaku anak yang sama di masa kini. Motivasilah terus
untuk maju. Pujilah segala usaha kerasnya. Berikan ungkapan, “Sayang,
Papa/mama perhatikan dulu kamu itu hebat lho seringkali menolong
adikmu. Tapi kok sekarang Papa/mama tidak pernah lagi melihat kamu
melakukannya ya? Kenapa sayang?” atau “Eh, biasanya anak Papa/mama suka
merapikan tempat tidur ya, kenapa hari ini nggak?”.
Kebiasaan 25 :
Paling benar dan paling tahu segalanya
Pernah tidak kita sebagai orang tua
melontarkan pernyataan seperti, “Ah…kamu ini masih bau kencur tahu apa
soal hidup”. Atau “Kamu tau ngga, Papa dan Mama sudah banyak makan asam
garamnya kehidupan, jadi kamu ngga perlu nasihatin Papa-Mama”.
Apa akibatnya?
Jika kita memiliki kebiasaan ini, maka
kita telah membuat proses komunikasi dengan anak-anak mengalami jalan
buntu. Meskipun kita bermaksud menunjukkan superioritas kita di depan
anak, tapi yang ditangkap anak malah semacam kesombongan yang luar
biasa. Tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasihat orang yang
sombong.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Seringkali usia orang tua dijadikan
acuan tentang banyaknya pengetahuan dan pengalaman. Namun untuk saat
ini, kondisi itu sudah tidak tepat lagi. Siapa yang lebih banyak
mendapatkan informasi dan banyak mengikuti kegiatan baik yang bersifat
bisnis atau sosial, lokal/internasiona, dialah yang lebih banyak tahu
dan berpengalaman. Seperti seorang pilot, kepiawaiannya dinilai dari
jumlah jam terbang, bukan dinilai berdasarkan usia. Jadi janganlah
pernah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat dan paling
banyak makan asam garam.Kita harus selalu ingat sifat padi yang semakin
berisi akan semakin merunduk. Dengarkanlah setiap masukan yang datang
dari anak kita, tanpa merasa lebih rendah. Bila kita kurang setuju
dengan pandangan anak kita, dukunglah idenya terlebih dahulu, kemudian
ceritakan pengalaman kita yang berkaitan dengan ide tadi.
Kebiasaan 26 :
Saling melempar tanggung jawab
Kita sering mendengar (atau mungkin
mengalami) beberapa suami terhadap istri atau sebaliknya mengungkapkan
pernyataan seperti, “Kamu sih memang tidak becus mendidik anak,” kata
sang suami, kemudian sang istri tak kalah sengit menjawab, “Enak saja,
selama ini kamu kemana saja?” tukas sang istri. Kemudian ditanggapi
lagi oleh sang suami, “Lho itukan tugas kamu mendidik anak, aku
tugasnya mencari nafkah. Jadi kalo ada apa-apa sama anak, ya kamulah
yang paling bertanggung jawab!”. Begitulah pertempuran mulut yang tiada
berujung dan tiada berakhir.
Apa akibatnya?
Mendidik anak merupakan tanggung jawab
orang tua, yaitu bapak dan ibu. Bila tidak maka proses pendidikan anak
akan terasa timpang dan jauh dari berhasil, sehingga yang sering
terjadi adalah saling menyalahkan satu sama lain. Anak kita akan merasa
tindakan buruknya bukan karena kesalahannya, melainkan disebabkan oleh
ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan
merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Hentikan saling menyalahkan sekarang
juga! Ambilah tanggung jawab kita selaku orang tua secara berimbang.
Keberhasilan pendidikan ada di tangan kita berdua dan merupakan kerja
sama tim. Belajarlah bagaimana cara mendidik yang benar dari
sumber-sumber yang tepat dan jangan pernah ada alasan tidak ada waktu.
Jadi aturlah waktu kita dengan berbagai cara dan kompaklah selalu
dengan pasangan. Ingat selalu pertanyaan bijak yang sebaiknya kita
ajukan sebelum menyalahkan pasangan kita, dan renungkanlah, “Apa peran
yang sudah saya berikan dalam proses pendidikan anak-anak saya selama
ini?”
Kebiasaan 27 :
Kakak harus selalu mengalah
Ada seorang kakak beradik, yang diasuh
oleh neneknya. Suatu hari adiknya menangis dan tanpa mengetahui duduk
persoalan serta siapa yang salah dan benar, si nenek selalu memarahi si
kakak. Si nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada
kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah
dengan adiknya.” Begitu ucapan yang selalu keluar dari mulut si nenek.
Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa akibatnya?
Ada suatu budaya di negeri ini bahwa
anak yang lebih tua harus selalu mengalah dengan saudaranya yang lebih
muda, sehingga tanpa melihat siapa yang salah dan siapa yang benar,
setiap kali adiknya menangis, selalu kakaknya yang disalahkan, yang
mengakibatkan anak yang paling tua tidak memiliki rasa percaya diri dan
membenci adiknya. Lama kelamaan si kakak mulai banyak melawan atas
ketidak adilan ini dan kedua anak bersaudara ini makin sering
bertengkar. Sementara si adik, yang selalu dibela, menjadi semakin
egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan
memberontak.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Anak harus diajari untuk memahami nilai
benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah ia lebih muda
atau lebih tua usianya. Maka berlakulah adil. Ketahuilah informasi
secara lengkap dari anak kita secara berimbang pada saat mereka
bertengkar. Tunjukkan hal-hal yang benar dan salah pada masing-masing.
Damaikanlah mereka segera, serta jelaskan nilai-nilai benar yang
berlaku dan perlu mereka taati bersama.
Kebiasaan 28 :
Menghukum secara fisik
Dalam kondisi emosi, kita cenderung
menjadi sensitif hingga pada akhirnya suara kita yang keras berubah
menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.
Apa akibatnya?
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini,
maka kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan beringas, suka
menyakiti orang lain dan membangkang. Pada saat ia bersosialisasi,
percaya atau tidak anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul.
Anak yang sejak kecil terbiasa dipukul oleh orang tuanya akan menyimpan
dendam dalam batinnya. Rasa dendam terkadang ia lampiaskan kembali
pada orangtuanya sendiri, orang lain atau teman-teman sebayanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekalipun menggunakan
hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul atau manampar bahkan
menggunakan alat seperti ikat pinggang atau rotan. Anak kita adalah
anak manusia yang telah dirancang oleh Penciptanya untuk bisa diatur
dengan kata-kata. Bila kata-kata kita sudah tidak lagi didengar oleh
anak, koreksilah segera diri kita, pasti ada yang salah dengan
kebiasaan kita hingga anak tidak menurut. Seandainya dulu kita pernah
diperlakukan demikian oleh orang tua kita, maafkanlah orang tua kita
dan jangan lanjutkan kebiasaan yang sangat buruk ini pada anak kita.
Hukuman pukulan lebih cocok kepada binatang daripada manusia.
Gunakanlah media dialog, pujian dan kelembutan.
Kebiasaan 29 :
Menunda atau membatalkan hukuman
Pernahkah kita pada saat anak minta
dibelikan permen atau mainan, dan anak merengek, kita lalu menjanjikan
konsekuensi hukuman atau sangsi, tetapi kita menunda atau bahkan
membatalkannya karena alasan lupa atau kasihan? Atau ketika anak
berhenti merengek, kita menganggap masalah sudah selesai dan akhirnya
kita menunda atau membatalkan hukuman.
Apa akibatnya?
Bila kita tidak melaksanakan
kesepakatan, anak akan menilai kita sebagai orang tua yang selalu lupa
atau hanya mengancam. Maka sering terjadi anak mempunyai pola pikir
untuk selalu melanggar kesepakatan karena sangsi atau hukuman tidak
pernah terjadi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita sudah punya kesepakatan dan
anak melanggarnya, sangsi atau hukuman tetap berlaku. Segera laksanakan
sangsi itu dan jangan menunda-nunda. Bila kita kasihan mungkin kita
bisa kurangi sangsi atau hukumannya. Perlu diingat bahwa sangsi atau
hukuman yang dimaksud bukanlah sangsi atau hukuman secara fisik, tetapi
lebih pada pengurangan bobot kesukaannya seperti mengurangi jam
menonton televisi, mengurangi jam bermain, dan lainnya.
Kebiasaan 30 :
Terpancing emosi
Anak-anak dalam memaksakan kehendak,
biasanya sering menguji emosi kita dengan perilakunya yang mengesalkan
seperti menangis, merengek, berguling atau memukul. Sehingga akhirnya
kita sering terpancing, menjadi marah dan lepas kontrol atau malah
cenderung mengalah. Pernahkah kita mengalaminya?
Apa akibatnya?
Bila kita terpancing, anak kitalah yang
merasa menang, sehingga anak kita merasa bisa mengendalikan orang
tuanya. Jika ini terjadi maka ia akan terus berusaha untuk
mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih
besar lagi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Yang terbaik adalah diam, tidak bicara
dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulahnya. Bial anak menangis
katakan padanya bahwa tangisannya tidak mengubah keputusan kita. Bila
anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita
akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si anak tidak
berulah lagi. Setelah itu lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan mata
pada anak yang berulah, hingga ia berhenti berulah. Dalam proses ini
kita jangan malu pada orang yang memperhatikan kita, dan jangan ada
pula orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang berulah
tadi. Sekali kita berhasil membuat anak kita mengalah, maka selanjutnya
dia tidak akan mengulangi untuk yang kedua kalinya.
Kebiasaan 30 :
Menghukum anak saat kita marah
Seringkali bila anak kita berbuat salah,
kita menjadi marah dan selalu memberikan sanksi atau hukuman, apalagi
ketika emosi kita sedang memuncak. Sanksi atau hukuman yang kita
berikan kebanyakan berupa hukuman secara fisik.
Apa akibatnya?
Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa
pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata-kata maupun
hukuman akan cenderung untuk menyakiti dan tidak menjadikan anak kita
lebih baik, sehingga akan berakibat fatal, yaitu kita telah melukai
hati anak kita dan anak seringkali tidak bisa melupakannya. Selain itu
anak juga bisa mendendam pada orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bila dalam keadaan marah, segeralah
menjauh dari anak, seperti masuk kamar atau mandi dengan air yang
sejuk. Jika kita bertekad akan memberikan sangsi/hukuman, tundalah
sampai emosi kita mereda. Stelah itu pilih dan susunlah bentuk
sangsi/hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang
diperbuatnya. Pilihlah bentuk sangsi/hukuman yang mengurangi aktivitas
yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, dsb. Harap
diingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.
Kebiasaan 32 :
Mengejek
Ada orang tua yang suka memeloroti
celana anknya untuk jadi bahan tertawaan atau seorang anak yang sedang
menyanyi dan kita mengejeknya, “Cie…cie…mirip Ariel nich ye”.
Apa akibatnya?
Orang tua yang biasa menggoda anaknya
sering kali secara tidak sadar telah membuat anaknya kesal. Dan ketika
anak memohon kepada kita untuk tidak menggodanya, kita malah semakin
senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu, sehingga hal ini akan
membangun ketidak sukaan anak kepada kita akhirnya anak tidak
menghargai kita lagi, karena ia menganggap kita juga seperti
teman-temannya yang suka menggodanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita ingin bercanda dengan anak,
pilihlah materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau merendahkan
dirinya. Jagalah batas-batas dan hindari bercanda yang membuat anak
kita kesal atau malu. Bila sedang bercanda, ekspresi anak kita kesal
dan meminta kita segera menghentikannya, segera hentikan dan jika perlu
meminta maaflah atas kejadian yang baru terjadi. Katakanlah kita tidak
bermaksud merendahkannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Kebiasaan 32 :
Menyindir
Beberapa orang tua terkadang tidak dapat
menyampaikan hal-hal yang diinginkannya dengan baik dan jelas ke pada
anak, karene tidak tahu caranya. Karena sudah mencapai batas
kesabarannya, terkadang orang tua mengungkapkan kemarahannya dengan
kata-kata singkat yang pedas dengan maksud menyindir seperti, “Tumben
hari gini sudah pulang” atau ”sering-sering aja pulang malem!”.
Apa akibatnya?
Kebiasaan ini akan membuat anak semakin
menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti
hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tak ada seorang pun yang berubah menjadi
baik karena sindiran. Katakanlah secara langsung apa yang kita
inginkan dengan kalimat yang tidak menyakiti hatinya. Katakan saja,
“Sayang, Papa/mama khawatir akan keselamatan kamu kalo kamu pulang
terlalu malam.”
Kebiasaan 33 :
Memberikan julukan yang buruk
Kita dengan begitu mudahnya sering memberikan julukan yang buruk, seperti si gendut, si lemot, si cengeng, biang kerok, dsb.
Apa akibatnya?
Kebiasaan memberikan julukan yang buruk
pada anak akan mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya
diri/minder, kebencian dan perlawanan. Adakalanya anak ingin
membuktikan kehebatan julukan tersebut pada orang tuanya. Misal, anak
yang diberi julukan biang kerok, ia akan berpikir bahwa apa yang
diperbuatnya tidaklah keliru, karena memang dia adalah biang kerok.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Gantilah segera julukan yang buruk
dengan yang baik, seperti anak baik, anak hebat, anak bijaksana atau
panggil dia dengan nama panggilan yang disukainya saja. Cobalah tanya
pada anak kita, panggilan apa yang disukainya. Anak pasti akan lebih
menyukai kita.
Kebiasaan 35 :
Mengumpan anak yang rewel
Kita sering mengalihkan perhatian anak
kepada hal/barang lain pada saat anak kita marah, merengek, menangis
atau meminta sesuatu dengan memaksa. Contohnya, “Tuh lihat tuh ada
kakak pake baju warna apa tuh…?” atau “Lihat ini lihat, gambar apa ya
lucu banget?”.
Apa akibatnya?
Pada saat anak kita sedang fokus pada
apa yang diinginkan, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri
akan menjadi sensitif. Ia tidak ingin dialihkan ke hal lain jika
masalah ini belum ada kata sepakat penyelesainnya. Semakin kita
berusaha mengalihkannya, semakin marah anak kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan apa yang diinginkan anak kita
dengan membicarakanya dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita
belum membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa yang
kita inginkan, seperti, “Papa/mama belum bisa membelikan mainan itu
sekarang. Jika kamu mau harus menabung dulu. Nanti papa/mama ajari kamu
cara menabung. Bila kamu terus merengek, kita tidak jadi jalan-jalan
dan langsung pulang”. Jika anak tetap merengek, segeralah kita pulang
meski urusan belanja belum selesai. Untuk urusan belanja, kita masih
bisa menundanya, tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
Kebiasaan 36 :
Televisi sebagai agen pendidik anak
Menurut penelitian, sebagian besar
perilaku buruk ditiru anak dari media visual dan sebagian lagi dari
media cetak dan lingkungan. Jika kita membiarkan anak kita berlama-lama
menonton TV, maka kita telah menyerahkan anak kita untuk dididik oleh
ibu kedua.
Apa akibatnya?
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal, yaitu :
- Terbentuk berdasarkan Siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya : kita atau TV?
- Terbentuk oleh siapa yang lebih dia percaya, apakah pada kata-kata kita atau ketepatan waktu program-program TV?
- Terbentuk oleh siapa yang menyampaikan lebih menyenangkan, Apakah kita atau program-program TV?
- Terbentuk oleh siapa yang lebih sering menemaninya, kita atau program-program TV yang sangat setia menemani anak kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
- Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tsb diatas.
- Ganti kegiatan menonton TV anak dengan kegiatan di rumah atau diluar rumah yang padat bagi anak-anak.
- Gantilah program TV di rumah dengan
film-film pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari film
kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
Kebiasaan 37 :
Mengajari anak untuk membalas
Bila anak kita dipukul oleh anak lain,
sering kita menjadi tidak sabar dan memprovokasi anak untuk membalas
dengan tindakan yang sama seperti anak lain itu. Alasan yang sering
kita utarakan adalah supaya ada keadilan, masing-masing merasakan
sakit.
Apa akibatnya?
Kita telah mendidik anak kita sendiri
untuk mendendam dengan selalu membalas segala bentuk pukulan atau
tindakan menyakiti lain yang diterimanya. Anak akan teringat terus
hal-hal yang diajarkan oleh kita tentang konsep membalas itu. Jangan
kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang kita
sampaikan kepadanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Lebih baik kita mengajarkan anak untuk
menghindari teman-temannya yang suka menyakiti. Lalu sampaikan pada
orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan
buruk dari anaknya dan ajak orang tua anak yang suka memukul untuk
mengikuti program parenting baik di radio maupun media lainnya.
Kebiasaan 1 :
Raja yang tak pernah salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan
belajar jalan, tidak jarang tanpa sengaja menabrak kursi/meja. Lalu
menangis. Umumnya yang dilakukan orang tua agar tangisan anak berhenti
adalah dengan memukul kursi/meja, sambil mengatakan, “Siapa yang nakal
ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup…cup…diem ya…”
Akhirnya si anak pun terdiam.
Apa akibatnya?
Ketika proses pemukulan terhadap benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak bahwa ia tidak pernah bersalah.
Yang salah orang/benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga
ia dewasa. Akibatnya setiap ia mengalami peristiwa dan terjadi
kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah oranglain, dan dirinya
selalu benar, sehingga yang pantas di hukum adalah orang lain yang
tidak melakukan kesalahan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Yaitu mengajari ia untuk bertanggung
jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian
yang menurutnya terasa sakit) :“Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya?
Lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu, supaya tidak
membentur lagi.
Kebiasaan 2 :
Berbohong kecil dan sering
Pada saat kita terburu-buru pergi
bekerja, anak kita meminta ikut. Apa yang kita lakukan? Apakah kita
menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih
berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah
itu kita buru-buru pergi? Atau kita mengatakan, “Papa hanya sebentar
kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, sayang.” Tapi
ternyata, kita pulang malam.
Apa akibatnya?
Dari contoh diatas, jika kita berbohong
ringan/bohong kecil, dapat mengakibatkan anak tidak percaya lagi dengan
kita sebagai orang tua. Mereka tidak bisa membedakan pernyataan kita
yang bisa dipercaya atau tidak, sehingga anak menganggap semua yang
diucapkan orang tuanya adalah bohong dan mulai tidak menuruti
segala perkataan kita. Awalnya, anak-anak kita adalah anak yang selalu
mendengarkan kata-kata orang tuanya, karena mereka sepenuhnya percaya
pada orang tuanya. Namun setelah anak beranjak besar mereka mulai tidak
menurut. Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering
membohongi anak untuk menghindari keinginannya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah jujur kepada anak. Ungkapkan
dengan penuh kasih dan pengertian : Sayang, Papa mau pergi bekerja.
Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo papa libur dan pergi ke kebun binatang,
kamu bisa ikut. Hal ini memang membutuhkan waktu lebih untuk memberi
pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis karena ia belum
memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari.
Kita perlu sabar dan beri pengertian kepada mereka secara terus
menerus. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu.
Kebiasaan 3 :
Banyak mengancam
Pada saat kita melihat si Kakak sedang
menggangu adiknya, kita sering mengatakan dengan berteriak dari tempat
duduk kita, “Jangan ganggu adik, nanti papa/mama marah!”
Apa akibatnya?
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya
melarang dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari
tempat duduk atau tanpa menghentikan aktifitas kita, bagi mereka itu
sudah merupakan suatu ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “…nanti
papa/mama marah.”
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu berteriak-teriak
seperti itu. Cukup dekati si anak. Tatap matanya dengan lembut, namun
perlihatkan bahwa ekspresi kita tidak senang dengan tindakan mereka,
dan dipertegas dengan kata-kata, “Sayang, Papa/mama mohon supaya kamu
boleh meminjamkan mainan ini kepada adikmu. Bila kamu tidak mau
meminjamkannya, Papa/Mama akan menyimpan mainan ini dan kalian berdua
tidak bisa bermain. Mainan akan Papa/Mama keluarkan, bila kamu mau
meminjamkannya pada adikmu dan Papa/mama akan makin sayang sama kamu.”
Tepati pernyataan kita itu dengan tindakan nyata.
Kebiasaan 4 :
Bicara tidak tepat sasaran
Pernahkah kita menghardik anak dengan
kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu begini atau begitu!”
atau “Papa/Mama tidak mau melihat kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun
kita tidak menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal-hal yang kita
inginkan.
Apa akibatnya?
Anak tidak mengerti apa yang diingini
oleh orang tuanya, sehingga yang terserap oleh anak adalah hal-hal yang
tidak disukai oleh orang tuanya, sehingga anak terus mencoba hal yang
baru dan dari sekian banyak percobaan yang baru tersebut, ternyata
selalu dikatakan salah oleh orang tuanya. Hal ini yang mengakibatkan
mereka berbalik untuk dengan sengaja melakukan hal-hal yang tidak
disukai orang tuanya dengan tujuan untuk membuat kesal orang tuanya
karena tindakannya selalu salah dihadapan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah hal-hal yang kita inginkan
secara intensif pada saat kita menegur mereka terhadap perilaku atau
hal yang tidak kita sukai. Dan pada waktunya, ketika mereka sudah
memahami dan melakukan segala hal yang kita inginkan, ucapkanlah terima
kasih dengan tulus dan penuh sayang atas segala usahanya untuk
berubah.
Kebiasaan 5 :
Menekankan pada hal-hal yang salah
Kita selaku orang tua sering mengeluhkan
perilaku anak-anak kita yang tidak pernah akur dan selalu bertengkar.
Apa yang kita lakukan? Melerai atau memarahi semua pihak. Lalu kita
ingat-ingat lagi, apa yang kita lakukan bila mereka bermain dengan akur
atau tidak bertengkar? Seringkali kita mendiamkan mereka bukan? Tidak
menyapa mereka karena beranggapan tidak perlu dan mereka sudah bermain dengan baik dan tidak bertengkar.
Apa akibatnya?
Dengan menganggap tidak perlu itulah
yang membuat mereka terpicu untuk kembali bertengkar, karena dengan
bertengkar, mereka mendapat perhatian dari orang tuanya. Dengan
mendiamkan mereka karena tidak bertengkar, membuat mereka juga tidak
tahu bila kita senang dengan kerukunan itu.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah pujian setiap kali mereka
bermain dengan asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara
mereka dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misalnya :”Nah,
gitu dong kalau main. Yang rukun dan mau saling meminjamkan. Papa/Mama
senang dan tambah sayang.” Lalu peluklah mereka sebagai ungkapan senang
dan sayang.
Kebiasaan 6 :
Merendahkan diri sendiri
Bila anak anda terlalu asyik bermain
play station sehingga mengalahkan jam belajar, apa yang anda lakukan?
Mungkin kita sering mengatakan :”Ayo, matikan play station-mu itu. Awas
ya, nanti dimarahi sama papa kalo pulang dari kerja.” Kita selalu
menggunakan ancaman dengan figur yang ditakuti oleh si anak.
Apa akibatnya?
Dengan menggunakan ancaman, kita tidak
sadar telah mengajarkan kepada anak bahwa mereka akan menurut jika
mereka ditakut-takuti dahulu.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkan aturan main sebelum kita bicara,
setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada
serius bahwa kita ingin ia berhenti bermain sekarang atau berikan
pilihan, misal : “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi
sekarang atau lima menit lagi? Bila jawabannya, “lima menit lagi
pa/ma.” Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit,
kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit, dengan
terpaksa Papa/Mama simpan hingga lusa.” Setelah persis lima menit,
dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa
kompromi dan tawar menawar lagi. Jika dia tidak menepati pilihannya,
langsung laksanakan konsekuensinya segera.
Kebiasaan 7 :
Papa dan Mama tidak kompak
Seorang ibu meminta anaknya yang
menonton televisi terus menerus untuk mengerjakan tugas sekolahnya,
tapi pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan
mengatakan bahwa tidak masalah bila menonton televisi terus, dengan
alasan supaya anaknya tidak stres.
Apa akibatnya?
Anak-anak pada umumnya belum dapat
memahami nilai benar dan salah. Mereka lebih cepat menangkap rasa yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya, sehingga si anak
memberi nilai bahwa ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya, setiap
kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung
di balik pembelaan bapaknya. Perlahan tapi pasti, anak akan belajar
untuk terus melawan terhadap ibunya. Demikian sebaliknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Untuk itu diperlukan peranan orang tua
dalam mendidiknya. Peran itu bukan tugas ibu saja atau bapak saja, tapi
keduanya. Ketika orang tua tidak kompak dalam mendidik anak-anaknya,
maka anak tidak akan pernah menjadi lebih baik. Dihadapan anak, jangan
sampai berbeda pendapat untuk hal-hal yang berhubungan langsung dengan
persoalan mendidik anak. Apabila ada pandangan yang berbeda dalam
mendidik anak, bicarakan hal ini secara pribadi dengan pasangan kita.
Kebiasaan 8 :
Campur tangan Kakek, Nenek, Tante atau pihak lain
Pada saat kita sebagai orang tua sudah
berusaha untuk kompak satu sama lain dalam mendidik anak-anaknya,
tiba-tiba ada pihak ke-3, yaitu kakek, nenek, om, tante atau pihak lain
di luar keluarga inti, yang muncul dan cenderung membela si anak.
Apa akibatnya?
Bila dalam satu rumah terdapat pihak di
luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat orang tua mendidik,
anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya, anak
juga cenderung melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun
yang tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik
dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh
kita sebagai orang tua. Berikan pengertian sedemikian rupa dengan
bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.
Kebiasaan 9 :
Menakuti anak
Pada saat anak kita menangis dan kita
berusaha untuk menenangkannya, kita sering mengatakan kepada si anak
:”Eh, kalo nangis terus nanti disuntik lho …” atau “Kalo kamu nangis
terus, Papa/mama panggil pak satpam ya.” Anak akhirnya memang cenderung
untuk berhenti menangis atau merengek dan menuruti kita.
Apa akibatnya?
Dengan pernyataan ancaman atau
menakut-nakuti, sebenarnya kita telah menanamkan rasa tidak suka atau
benci pada institusi atau pihak yang kita sebutkan. Anak akan tidak
suka atau takut dengan figur dokter/satpam. Pernyataan
mengancam/menakuti akan semakin dipahami anak sebagai kebohongan orang
tua seiring perjalanan tumbuh kembang anak.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah jujur dan berikan pengertian
pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena
sesungguhnya anak-anak juga mampu berpikir dewasa. Jika anak minta
dibelikan permen katakan padanya akibat yang dapat ditimbulkan pada
gigi dari pemanis buatan itu. Jika anak tetap memaksa, katakanlah
dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis,
tapi papa/mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak kita
yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.
Kebiasaan 10 :
Ucapan dan tindakan tidak sesuai
Ada sebagian orang tua yang menetapkan
pola asuhnya dengan menggunakan cara memberi penghargaan dengan pujian
atau bahkan hadiah untuk kebaikan yang dilakukan oleh anaknya.
Contohnya “Jika kamu mau membersihkan tempat tidurmu, maka di akhir
pekan papa/mama mengajakmu jalan-jalan”. Dan pada akhir pekan, ternyata
kita tidak dapat memenuhi janjinya, sehingga anak kita menjadi marah.
Apa akibatnya?
Anak memiliki ingatan yang tajam
terhadap suatu janji, jika kita tidak menepati janji, maka kita tidak
dipercaya oleh anak dan selanjutnya, anak mulai tidak mau menuruti yang
kita minta.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah mudah mengumbar janji pada
anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mau mengikuti permintaan
kita. Pikirlah dahulu sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa
memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi
segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk
menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti
janji itu.
Kebiasaan 11 :
Hadiah untuk perilaku buruk anak
Pada saat kita bersama anak berada di
tempat umum, si anak minta dibelikan mainan. Lalu kita katakan tidak
boleh. Si anak terus merengek dan rengekannya semakin kuat hingga
menjadi teriakan dan ada gerakan perlawanan. Kita tetap mengatakan
tidak boleh. Dan pada saat kita berada di antrian bayar kasir, dia
merengek lagi dengan kekuatan penuh untuk membuat kita malu di depan
umum. Dan akhirnya, tibalah saat yang dinantikan oleh anak dengan
mendengar pernyataan dari kita sebagai orang tua : “Ya sudah, kamu
ambil satu. Satu saja ya!”.
Apa akibatnya?
Saat kita memberi pernyataan, …”Ya
sudah, kamu ambil satu.” … kita telah memberikan hadiah pada perilaku
buruk yang dilakukannya. Dan sejak saat itu juga, anak mempelajari
sesuatu bahwa untuk bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkan maka dia
harus membuat perlawanan yang cukup heboh di tempat yang “strategis”.
Anak mempelajari bahwa apa pun permintaannya dapat dikabulkan bila
melalui perlawanan yang gigih. Kejadian ini akan terus diulangi dan
diuji-cobakan pada permintaan yang lain.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tetaplah berlaku konsisten, tidak perlu
malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang ‘tega’ atau ‘kikir’.
Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak. Sekali kita konsisten,
anak tak akan pernah mencobanya lagi. Ingat sekali lagi : tetaplah
KONSISTEN dan pantang menyerah! Apa pun alasannya, jangan pernah
memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.
Kebiasaan 12 :
Merasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang terbaik
Dalam kehidupan saat ini, dimana
sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktunya di kantor/ tempat
kerja daripada bersama anaknya, menyebabkan banyak orang tua merasa
bersalah atas situasi ini. Akibatnya para orang tua menyetujui perilaku
buruk anaknya dengan ungkapan yang sering dilontarkan, “Biarlah dia
seperti ini mungkin karena saya juga yang jarang bertemu dengannya…”
Apa akibatnya?
Semakin orang tua merasa bersalah
terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak
kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan
semakin sering ia melakukannya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Apa pun yang bisa kita berikan secara
benar pada anak kita adalah hal yang terbaik. Tiap keluarga memiliki
masalah yang unik, tidak sama. Ada orang punya kelebihan pada aspek
financial tapi miskin waktu bertemu dengan anak, sebaliknya ada yang
punya banyak waktu bersama tapi kekurangan dari sisi ekonomi. Jadi
yakinlah bahwa dalam kondisi apa pun kita tetap bisa memberikan yang
terbaik. Jadi, jangan pernah memaklumkan hal-hal yang tidak baik.
Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu,
gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya dengan
anak kita. Menyisihkan waktu di antara sisa-sisa tenaga kita, memang
tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, maka akan
terbiasa.
Kebiasaan 13 :
Mudah menyerah dan pasrah
Pernahkah kita mengucapkan kata-kata :
“Duh.. anak saya itu memang keras betul…saya tidak sanggup lagi untuk
mengaturnya.” Atau “Biar sajalah, terserah apa maunya. Saya sudah tidak
sanggup lagi untuk mendidiknya.”
Apa akibatnya?
Dalam kondisi kita sebagai orang tua
tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih tegas.
Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan dan mengatur
orang tuanya. Akibat lebih lanjut orang tua sulit mengendalikan
perilaku anaknya dan cenderung pasrah.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajar dan berusahalah dengan keras
untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak
keteguhan hati dan pantang menyerah. Bila kita mudah menyerah, kepada
siapa kita akan melimpahkan tugas kita ini dalam mendidik anak?
Kebiasaan 14 :
Marah yang berlebihan
Pernahkah kita memarahi anak kita karena
melakukan kesalahan karena kelengahan kita menjaga mereka? Bahkan
tidak jarang kita melakukan kekerasan fisik.
Apa akibatnya?
Sering kita menyamakan persepsi antara
mendidik dan memarahi. Perlu diingat, memarahi adalah cara mendidik
yang paling buruk. Pada saat memarahi anak, kita tidak sedang mendidik
mereka, melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kita karena tidak
bisa mengatasi masalah dengan baik dan merupakan upaya untuk
melemparkan kesalahan pada anak kita. Dan setelah selesai marah kita
akan menyesal dan cenderung tidak konsisten terhadap apa yang telah
kita tetapkan. Rasa menyesal ini juga sering kita ganti dengan
memberikan dispensasi atau membolehkan hal-hal yang sebelumnya kita
larang. Bila hal ini terjadi, anak kita akan selalu berusaha memancing
kemarahan kita, kemudian kita kembali menyesal dan si anak menikmati
hasilnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah bicara pada saat marah!
Pergilah menghindar hingga amarah reda. Setelah itu bicara “tegas” dan
bukan berbicara “keras”. Bicara tegas adalah bicara dengan nada yang
datar, dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam-dalam.
Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita rasional. Sedangkan
bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi, sehingga
kata-kata kita tidak bisa terkontrol. Anak yang dimarahi cenderung
tidak bertambah baik, ia akan menimpali dengan kesalahan yang sama.
Maka bertindaklah tegas jika kita ingin anak kita menjadi lebih baik.
Kebiasaan 15 :
Gengsi untuk menyapa
Kita pasti pernah mengalami bahwa kita
telanjur marah besar terhadap anak, biasanya amarah terbawa selama
berhari-hari, sehingga hubungan kita dengan anak menjadi renggang.
Apa akibatnya?
Akibat rasa kesal yang masih tersisa dan
ditambah “gengsi”, kita enggan menyapa anak kita. Masing-masing pihak
menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita sebagai orang tua yang harus
memulai saat anak mulai menunjukkan tanda-tanda perdamaian dan
mengikuti keinginan kita, jangan tunda lagi, dan bukalah pembicaraan
dengannya. Ajaklah kembali bicara seperti biasanya, jika perlu mintalah
maaf atas apa yang telah terjadi diantara kita dan anak kita. Anak pun
akan ikutan meminta maaf, sehingga tanpa disadari oleh si anak, dia
akan merasa bahwa kita tidak suka pada sikap anak kita dan bukan pada
pribadi anak kita.
Kebiasaan 15 :
Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Kebanyakan orang tua bila melihat anak
berperilaku usil dan suka mengganggu, cenderung mengatakan : “Ya,
maklumlah namanya juga anak-anak…”
Apa akibatnya?
Karena kita selalu memaklumi tindakan
keliru yang dilakukan oleh anak-anak, otomatis si anak berpikir bahwa
perilakunya saat ini sudah benar, karena tidak ada teguran.
Sehingga ia akan selalu mengulangi tindakan keliru atau buruk itu. Akan
berdampak lebih buruk lagi, bila perilaku ini dipertahankan hingga ia
dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu memaklumi suatu hal
yang tidak perlu dimaklumi. Kita harus mendidik setiap anak tanpa
kecuali dengan tegas (ingat : bukan keras) sejak usia 2 tahun. Semakin
dini usianya, semakin mudah untuk diajak kerja sama. Ia akan mau diajak
bekerja sama selama kita selalu mengajaknya berdialog dari hati ke
hati, tegas dan konsisten. Tidak perlu menunggu hingga usianya beranjak
dewasa. Semakin bertambah usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk
mengubah perilaku buruknya.
Kebiasaan 17 :
Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa sering kita sebagai orang tua
mengungkapkan pernyataan seperti, “Awas ya, kalau kamu ikut Papa/mama,
tidak boleh nakal!” atau “Awas, kalo mau ikut Papa/mama jangan
macam-macam ya”.
Apa akibatnya?
Kita sering menggunakan istilah-istilah
yang tidak memiliki maksud yang jelas seperti istilah “nakal” atau
“jangan macam-macam”. Istilah ini akan membingungkan anak kita. Dalam
benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku
seperti apa yang masuk dalam kategori nakal, dan perilaku apa yang
masuk kategori macam-macam. Selain bingung, anak juga akan
menebak-nebak arti dari istilah nakal atau macam-macam. Sehingga,
mereka mencoba-coba untuk mengetahui perilaku yang masuk kategori nakal
atau macam-macam itu.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah dengan jelas dan spesifik,
misalnya, “Sayang, bila kamu ingin ikut Papa/mama, kamu tidak boleh
minta mainan, permen dan tidak boleh berteriak di kasir seperti minggu
lalu ya”. Sehingga anak jelas memahami keinginan kita dan berusaha
memenuhinya. Jangan lupa untuk menetapkan kesepakatan bersama apa
konsekuensinya jika hal itu dilanggar.
Kebiasaan 18 :
Mengharap perubahan instan
Ketika anak terlambat bangun, tidak
membereskan tempat tidur atau sulit dimandikan, kita ingin bahwa anak
kita berubah total dalam jangka waktu sehari.
Apa akibatnya?
Karena terbiasa hidup dalam budaya
“instan” seperti mie instan, susu instan, the instan, sehingga setiap
anak berbuat salah, kita sering ingin sebuah perubahan yang instan
juga. Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam
waktu singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit
memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memnuhi keinginan kita, ia akan
frustasi dan tidak yakin bisa melakukannya lagi. Akibatnya ia memilih
untuk melakukan perlawanan seperti banyak memberi alasan, acuh tak acuh
atau marah-marah.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita mengharapkan perubahan
kebiasaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan-tahapan perubahan
yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan yang
tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin ajak ia melakukan perubahan
dari hal yang paling mudah. Biarkan ia memilih hal yang paling mudah
menurutnya uantuk diubah. Jika ia berhasil, itu akan memotivasi anak
untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu
dirayakan setiap perubahan yang berhasil dilakukannya, sekecil dan
sesederhana apa pun perubahan tersebut. Ini untuk menunjukkan betapa
seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah dilakukannya.
Pusatkan pujian kita pada usaha kerasnya dan jangan memusatkan pada
hasilnya yang kadang-kadang kurang memuaskan kita.
Kebiasaan 19 :
Pendengar yang buruk
Suatu hari anak kita pulang terlambat,
seharusnya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat
keterangn apa pun darinya dan kita merasa kesal menunggu, sekaligus
juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita
langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan
setiap anak hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia malah
tidak mau bicara dan marah pada kita.
Apa akibatnya?
Pada saat seperti itu, yang sangat
dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan dan ingin
diperhatikan. Padahal keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas
mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak mendapat kesempatan untuk
berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik
untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Mulai saat ini jadilah pendengar yang
baik. Perhatikan setiap ucapan ceritanya, sehingga kita mengetahui
permasalahan secara utuh dan benar. Cukup dengarkan dahulu dengan
memberi tanggapan antusias dan empati. Tahanlah untuk tidak berkomentar
apa pun sampai anak kita mengatakan, “Menurut Papa/mama bagaimana?”.
Ingatlah pesan yang disampaikan oleh Tuhan melalui anggota tubuh kita,
yaitu Tuhan memberi kita 2 telinga dan 1 mulut, yang artinya Tuhan
menghendaki kita 2 kali mendengarkan dan 1 kali berbicara. Dan jangan
dibalik.
Kebiasaan 20 :
Selalu menuruti permintaan anak
Apakah anak kita adalah anak semata
wayang? Atau anak laki-laki yang ditunggu-tunggu dari beberapa anak
perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang sudah 10 tahun
ditunggu-tunggu baru kita dapatkan? Fenomena ini seringkali menjadikan
orang tua teramat sayang pada anaknya, sehingga setiap kemauan anak
selalu dituruti.
Apa akibatnya?
Seperti seorang raja kecil, semakin hari
tuntutannya semakin aneh-aneh dan kuat. Jika ini sudah menjadi
kebiasaan maka kita akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik
dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal
toleransi dan tidak bisa bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun sayangnya kita pada anak
jangan pernah memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak
harus ditunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Jika kita
benarsayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai baik dan buruk,
yang benar dan salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan.Kita harus
menerapkan pola asuh sesuai tipologi sifat dasarnya. Jika tidak, rasa
sayng kita akan “kebablasan” dan menjadikannya anak yang “semau gue”
atau egois/manja.
Kebiasaan 21 :
Terlalu banyak larangan
Seberapa banyak kita jumpai orang tua
yang ingin menjadikan anaknya seperti apa yang dia inginkan secara
sempurna (Perfectionist)? Yang cenderung membentuk anaknya sesuai
dengan keinginannya, anaknya harus begini dan tidak boleh begitu,
dilarang melakukan ini dan itu. Hal tersebut terkadang dilakukan secara
berlebihan, sampai-sampai hal yang paling pribadi pun ikut-ikutan
diaturnya.
Apa akibatnya?
Anak tercipta untuk menjadi dirinya
sendiri dengan cara yang benar sesuai nilai-nilai yang berlaku. Pada
saat kita menerapkan pola asuh perfectionist, pada saatnya anak tidak
tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik
dengan cara menyakiti diri, dengan perlawanan tersembunyi atau dengan
perang terbuka.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kurangilah sifat kita yang perfeksionis.
Berilah ijin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan
positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog. Bangunlah situasi saling
mempercayai antara kita dan anak kita. Kurangilah jumlah larangan yang
berlebihan. Gunakan kesepakatan-kesepakatan untuk memberikan batas yang
lebih baik.
Kebiasaan 22 :
Terlalu cepat menyimpulkan
Pada saat anak pulang terlambat dan
hendak menceritakan penyebabnya, kita memotong pembicaraan dengan
mengatakan, “sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”. Atau “ Ah,
Papa/mama tahu, kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”.
Apa akibatnya?
Kita cenderung memotong pembicaraan pada
saat anak kita sedang memberikan penjelasan dan segera menentukan
kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal
kesimpulan kita belum tentu benar dan seandainya benar cara ini akan
menyakitkan hati si anak, sehingga anak akan menyimpulkan bahwa kita
adalah orang tua yang sok tahu, tidak mau memahami keadaan dan
menyebalkan. Dan akibatnya anak malah akan benar-benar melakukan
hal-hal yang kita tuduhkan kepadanya. Ia tidak pernah mau mendengarkan
nasihat kita dan ia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah memotong pembicaraan dan
mengambil kesimpulan terlalu dini. Dengarkan, dengarkan dan dengarkan
sambil memberi tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya bahwa kita
akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita sudah selesai dengan
penjelasannya.
Kebiasaan 23 :
Mengungkit kesalahan masa lalu
Seringkali kita mengungkit-ungkit
catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita, contohnya, “Tuh kan
Papa/mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang
kejadian kan. Makanya dengerin kalo orang tua ngomong. Dasar kamu
memang anak bebal sih”.
Apa akibatnya?
Kita berharap, dengan mengungkit
kejadian masa lalu mengenai catatan kesalahannya, anak akan belajar
dari masalah. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ia akan sakit hati
dan berusaha mengulangi kesalahan-kesalahannya sebagai tindakan
pembalasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak ingin anak kita
berperilaku buruk lagi, jangan pernah mengungkit-ungkit lagi masa
lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkul anak kita.
Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahannya. Ungkapkan
pernyataan seperti, “Y, sayang kita semua manusia biasa, setiap orang
pasti pernah keliru dan salah. Papa/mama yakin ini adalah pelajaran
berharga buat kita semua dan mulai besok kamu yang memutuskan yang
terbaik”. Dan bila ternyata anak kita yang mengungkit kekeliruannya di
masa lalu, kita cukup memberikan anggukan kepala serta pujian bahwa dia
mau belajar dari pengalaman. Berilah pujian dengan ungkapan, “Kamu
memang anak papa yang luar biasa. Papa bangga kamu bisa mengambil
hikmah positif dari kejadian yang kamu alami”.
Kebiasaan 24 :
Suka membandingkan
Kebanyakan orang tua, entah sadar atau
tidak justru sering membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain/
satu sama lain. Contohnya, “Coba kalo kamu mau rajin belajar seperti
kakak, pasti nilai rapor kamu tidak seperti ini!”.
Apa akibatnya?
Jika kita sering melakukan kebiasaan
membandingkan satu dengan yang lain, maka akan mengakibatkan anak makin
tidak menyukai kita dan merasa iri dan benci pada si pembanding.
Sementara itu, anak si pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Anak yang sering dibandingkan akan menjadi anak pemangkang dan
berperilaku makin buruk serta berupaya menjatuhkan si pembanding dengan
berbagai cara. Kita secara tidak sadar telah memicu pertengkaran
diantara anak-anak kita sendiri.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekali-kali
membanding-bandingkan satu dengan lainnya, karena setiap anak terlahir
dengan membawa perbedaan. Catat perubahan perilaku masing-masing anak.
Jika ingin membandingkan, bandingkanlah perilaku anak yang sama dimasa
lalu dengan perilaku anak yang sama di masa kini. Motivasilah terus
untuk maju. Pujilah segala usaha kerasnya. Berikan ungkapan, “Sayang,
Papa/mama perhatikan dulu kamu itu hebat lho seringkali menolong
adikmu. Tapi kok sekarang Papa/mama tidak pernah lagi melihat kamu
melakukannya ya? Kenapa sayang?” atau “Eh, biasanya anak Papa/mama suka
merapikan tempat tidur ya, kenapa hari ini nggak?”.
Kebiasaan 25 :
Paling benar dan paling tahu segalanya
Pernah tidak kita sebagai orang tua
melontarkan pernyataan seperti, “Ah…kamu ini masih bau kencur tahu apa
soal hidup”. Atau “Kamu tau ngga, Papa dan Mama sudah banyak makan asam
garamnya kehidupan, jadi kamu ngga perlu nasihatin Papa-Mama”.
Apa akibatnya?
Jika kita memiliki kebiasaan ini, maka
kita telah membuat proses komunikasi dengan anak-anak mengalami jalan
buntu. Meskipun kita bermaksud menunjukkan superioritas kita di depan
anak, tapi yang ditangkap anak malah semacam kesombongan yang luar
biasa. Tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasihat orang yang
sombong.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Seringkali usia orang tua dijadikan
acuan tentang banyaknya pengetahuan dan pengalaman. Namun untuk saat
ini, kondisi itu sudah tidak tepat lagi. Siapa yang lebih banyak
mendapatkan informasi dan banyak mengikuti kegiatan baik yang bersifat
bisnis atau sosial, lokal/internasiona, dialah yang lebih banyak tahu
dan berpengalaman. Seperti seorang pilot, kepiawaiannya dinilai dari
jumlah jam terbang, bukan dinilai berdasarkan usia. Jadi janganlah
pernah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat dan paling
banyak makan asam garam.Kita harus selalu ingat sifat padi yang semakin
berisi akan semakin merunduk. Dengarkanlah setiap masukan yang datang
dari anak kita, tanpa merasa lebih rendah. Bila kita kurang setuju
dengan pandangan anak kita, dukunglah idenya terlebih dahulu, kemudian
ceritakan pengalaman kita yang berkaitan dengan ide tadi.
Kebiasaan 26 :
Saling melempar tanggung jawab
Kita sering mendengar (atau mungkin
mengalami) beberapa suami terhadap istri atau sebaliknya mengungkapkan
pernyataan seperti, “Kamu sih memang tidak becus mendidik anak,” kata
sang suami, kemudian sang istri tak kalah sengit menjawab, “Enak saja,
selama ini kamu kemana saja?” tukas sang istri. Kemudian ditanggapi
lagi oleh sang suami, “Lho itukan tugas kamu mendidik anak, aku
tugasnya mencari nafkah. Jadi kalo ada apa-apa sama anak, ya kamulah
yang paling bertanggung jawab!”. Begitulah pertempuran mulut yang tiada
berujung dan tiada berakhir.
Apa akibatnya?
Mendidik anak merupakan tanggung jawab
orang tua, yaitu bapak dan ibu. Bila tidak maka proses pendidikan anak
akan terasa timpang dan jauh dari berhasil, sehingga yang sering
terjadi adalah saling menyalahkan satu sama lain. Anak kita akan merasa
tindakan buruknya bukan karena kesalahannya, melainkan disebabkan oleh
ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan
merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Hentikan saling menyalahkan sekarang
juga! Ambilah tanggung jawab kita selaku orang tua secara berimbang.
Keberhasilan pendidikan ada di tangan kita berdua dan merupakan kerja
sama tim. Belajarlah bagaimana cara mendidik yang benar dari
sumber-sumber yang tepat dan jangan pernah ada alasan tidak ada waktu.
Jadi aturlah waktu kita dengan berbagai cara dan kompaklah selalu
dengan pasangan. Ingat selalu pertanyaan bijak yang sebaiknya kita
ajukan sebelum menyalahkan pasangan kita, dan renungkanlah, “Apa peran
yang sudah saya berikan dalam proses pendidikan anak-anak saya selama
ini?”
Kebiasaan 27 :
Kakak harus selalu mengalah
Ada seorang kakak beradik, yang diasuh
oleh neneknya. Suatu hari adiknya menangis dan tanpa mengetahui duduk
persoalan serta siapa yang salah dan benar, si nenek selalu memarahi si
kakak. Si nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada
kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah
dengan adiknya.” Begitu ucapan yang selalu keluar dari mulut si nenek.
Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa akibatnya?
Ada suatu budaya di negeri ini bahwa
anak yang lebih tua harus selalu mengalah dengan saudaranya yang lebih
muda, sehingga tanpa melihat siapa yang salah dan siapa yang benar,
setiap kali adiknya menangis, selalu kakaknya yang disalahkan, yang
mengakibatkan anak yang paling tua tidak memiliki rasa percaya diri dan
membenci adiknya. Lama kelamaan si kakak mulai banyak melawan atas
ketidak adilan ini dan kedua anak bersaudara ini makin sering
bertengkar. Sementara si adik, yang selalu dibela, menjadi semakin
egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan
memberontak.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Anak harus diajari untuk memahami nilai
benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah ia lebih muda
atau lebih tua usianya. Maka berlakulah adil. Ketahuilah informasi
secara lengkap dari anak kita secara berimbang pada saat mereka
bertengkar. Tunjukkan hal-hal yang benar dan salah pada masing-masing.
Damaikanlah mereka segera, serta jelaskan nilai-nilai benar yang
berlaku dan perlu mereka taati bersama.
Kebiasaan 28 :
Menghukum secara fisik
Dalam kondisi emosi, kita cenderung
menjadi sensitif hingga pada akhirnya suara kita yang keras berubah
menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.
Apa akibatnya?
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini,
maka kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan beringas, suka
menyakiti orang lain dan membangkang. Pada saat ia bersosialisasi,
percaya atau tidak anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul.
Anak yang sejak kecil terbiasa dipukul oleh orang tuanya akan menyimpan
dendam dalam batinnya. Rasa dendam terkadang ia lampiaskan kembali
pada orangtuanya sendiri, orang lain atau teman-teman sebayanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekalipun menggunakan
hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul atau manampar bahkan
menggunakan alat seperti ikat pinggang atau rotan. Anak kita adalah
anak manusia yang telah dirancang oleh Penciptanya untuk bisa diatur
dengan kata-kata. Bila kata-kata kita sudah tidak lagi didengar oleh
anak, koreksilah segera diri kita, pasti ada yang salah dengan
kebiasaan kita hingga anak tidak menurut. Seandainya dulu kita pernah
diperlakukan demikian oleh orang tua kita, maafkanlah orang tua kita
dan jangan lanjutkan kebiasaan yang sangat buruk ini pada anak kita.
Hukuman pukulan lebih cocok kepada binatang daripada manusia.
Gunakanlah media dialog, pujian dan kelembutan.
Kebiasaan 29 :
Menunda atau membatalkan hukuman
Pernahkah kita pada saat anak minta
dibelikan permen atau mainan, dan anak merengek, kita lalu menjanjikan
konsekuensi hukuman atau sangsi, tetapi kita menunda atau bahkan
membatalkannya karena alasan lupa atau kasihan? Atau ketika anak
berhenti merengek, kita menganggap masalah sudah selesai dan akhirnya
kita menunda atau membatalkan hukuman.
Apa akibatnya?
Bila kita tidak melaksanakan
kesepakatan, anak akan menilai kita sebagai orang tua yang selalu lupa
atau hanya mengancam. Maka sering terjadi anak mempunyai pola pikir
untuk selalu melanggar kesepakatan karena sangsi atau hukuman tidak
pernah terjadi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita sudah punya kesepakatan dan
anak melanggarnya, sangsi atau hukuman tetap berlaku. Segera laksanakan
sangsi itu dan jangan menunda-nunda. Bila kita kasihan mungkin kita
bisa kurangi sangsi atau hukumannya. Perlu diingat bahwa sangsi atau
hukuman yang dimaksud bukanlah sangsi atau hukuman secara fisik, tetapi
lebih pada pengurangan bobot kesukaannya seperti mengurangi jam
menonton televisi, mengurangi jam bermain, dan lainnya.
Kebiasaan 30 :
Terpancing emosi
Anak-anak dalam memaksakan kehendak,
biasanya sering menguji emosi kita dengan perilakunya yang mengesalkan
seperti menangis, merengek, berguling atau memukul. Sehingga akhirnya
kita sering terpancing, menjadi marah dan lepas kontrol atau malah
cenderung mengalah. Pernahkah kita mengalaminya?
Apa akibatnya?
Bila kita terpancing, anak kitalah yang
merasa menang, sehingga anak kita merasa bisa mengendalikan orang
tuanya. Jika ini terjadi maka ia akan terus berusaha untuk
mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih
besar lagi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Yang terbaik adalah diam, tidak bicara
dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulahnya. Bial anak menangis
katakan padanya bahwa tangisannya tidak mengubah keputusan kita. Bila
anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita
akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si anak tidak
berulah lagi. Setelah itu lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan mata
pada anak yang berulah, hingga ia berhenti berulah. Dalam proses ini
kita jangan malu pada orang yang memperhatikan kita, dan jangan ada
pula orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang berulah
tadi. Sekali kita berhasil membuat anak kita mengalah, maka selanjutnya
dia tidak akan mengulangi untuk yang kedua kalinya.
Kebiasaan 30 :
Menghukum anak saat kita marah
Seringkali bila anak kita berbuat salah,
kita menjadi marah dan selalu memberikan sanksi atau hukuman, apalagi
ketika emosi kita sedang memuncak. Sanksi atau hukuman yang kita
berikan kebanyakan berupa hukuman secara fisik.
Apa akibatnya?
Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa
pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata-kata maupun
hukuman akan cenderung untuk menyakiti dan tidak menjadikan anak kita
lebih baik, sehingga akan berakibat fatal, yaitu kita telah melukai
hati anak kita dan anak seringkali tidak bisa melupakannya. Selain itu
anak juga bisa mendendam pada orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bila dalam keadaan marah, segeralah
menjauh dari anak, seperti masuk kamar atau mandi dengan air yang
sejuk. Jika kita bertekad akan memberikan sangsi/hukuman, tundalah
sampai emosi kita mereda. Stelah itu pilih dan susunlah bentuk
sangsi/hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang
diperbuatnya. Pilihlah bentuk sangsi/hukuman yang mengurangi aktivitas
yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, dsb. Harap
diingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.
Kebiasaan 32 :
Mengejek
Ada orang tua yang suka memeloroti
celana anknya untuk jadi bahan tertawaan atau seorang anak yang sedang
menyanyi dan kita mengejeknya, “Cie…cie…mirip Ariel nich ye”.
Apa akibatnya?
Orang tua yang biasa menggoda anaknya
sering kali secara tidak sadar telah membuat anaknya kesal. Dan ketika
anak memohon kepada kita untuk tidak menggodanya, kita malah semakin
senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu, sehingga hal ini akan
membangun ketidak sukaan anak kepada kita akhirnya anak tidak
menghargai kita lagi, karena ia menganggap kita juga seperti
teman-temannya yang suka menggodanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita ingin bercanda dengan anak,
pilihlah materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau merendahkan
dirinya. Jagalah batas-batas dan hindari bercanda yang membuat anak
kita kesal atau malu. Bila sedang bercanda, ekspresi anak kita kesal
dan meminta kita segera menghentikannya, segera hentikan dan jika perlu
meminta maaflah atas kejadian yang baru terjadi. Katakanlah kita tidak
bermaksud merendahkannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Kebiasaan 32 :
Menyindir
Beberapa orang tua terkadang tidak dapat
menyampaikan hal-hal yang diinginkannya dengan baik dan jelas ke pada
anak, karene tidak tahu caranya. Karena sudah mencapai batas
kesabarannya, terkadang orang tua mengungkapkan kemarahannya dengan
kata-kata singkat yang pedas dengan maksud menyindir seperti, “Tumben
hari gini sudah pulang” atau ”sering-sering aja pulang malem!”.
Apa akibatnya?
Kebiasaan ini akan membuat anak semakin
menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti
hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tak ada seorang pun yang berubah menjadi
baik karena sindiran. Katakanlah secara langsung apa yang kita
inginkan dengan kalimat yang tidak menyakiti hatinya. Katakan saja,
“Sayang, Papa/mama khawatir akan keselamatan kamu kalo kamu pulang
terlalu malam.”
Kebiasaan 33 :
Memberikan julukan yang buruk
Kita dengan begitu mudahnya sering memberikan julukan yang buruk, seperti si gendut, si lemot, si cengeng, biang kerok, dsb.
Apa akibatnya?
Kebiasaan memberikan julukan yang buruk
pada anak akan mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya
diri/minder, kebencian dan perlawanan. Adakalanya anak ingin
membuktikan kehebatan julukan tersebut pada orang tuanya. Misal, anak
yang diberi julukan biang kerok, ia akan berpikir bahwa apa yang
diperbuatnya tidaklah keliru, karena memang dia adalah biang kerok.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Gantilah segera julukan yang buruk
dengan yang baik, seperti anak baik, anak hebat, anak bijaksana atau
panggil dia dengan nama panggilan yang disukainya saja. Cobalah tanya
pada anak kita, panggilan apa yang disukainya. Anak pasti akan lebih
menyukai kita.
Kebiasaan 35 :
Mengumpan anak yang rewel
Kita sering mengalihkan perhatian anak
kepada hal/barang lain pada saat anak kita marah, merengek, menangis
atau meminta sesuatu dengan memaksa. Contohnya, “Tuh lihat tuh ada
kakak pake baju warna apa tuh…?” atau “Lihat ini lihat, gambar apa ya
lucu banget?”.
Apa akibatnya?
Pada saat anak kita sedang fokus pada
apa yang diinginkan, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri
akan menjadi sensitif. Ia tidak ingin dialihkan ke hal lain jika
masalah ini belum ada kata sepakat penyelesainnya. Semakin kita
berusaha mengalihkannya, semakin marah anak kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan apa yang diinginkan anak kita
dengan membicarakanya dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita
belum membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa yang
kita inginkan, seperti, “Papa/mama belum bisa membelikan mainan itu
sekarang. Jika kamu mau harus menabung dulu. Nanti papa/mama ajari kamu
cara menabung. Bila kamu terus merengek, kita tidak jadi jalan-jalan
dan langsung pulang”. Jika anak tetap merengek, segeralah kita pulang
meski urusan belanja belum selesai. Untuk urusan belanja, kita masih
bisa menundanya, tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
Kebiasaan 36 :
Televisi sebagai agen pendidik anak
Menurut penelitian, sebagian besar
perilaku buruk ditiru anak dari media visual dan sebagian lagi dari
media cetak dan lingkungan. Jika kita membiarkan anak kita berlama-lama
menonton TV, maka kita telah menyerahkan anak kita untuk dididik oleh
ibu kedua.
Apa akibatnya?
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal, yaitu :
- Terbentuk berdasarkan Siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya : kita atau TV?
- Terbentuk oleh siapa yang lebih dia percaya, apakah pada kata-kata kita atau ketepatan waktu program-program TV?
- Terbentuk oleh siapa yang menyampaikan lebih menyenangkan, Apakah kita atau program-program TV?
- Terbentuk oleh siapa yang lebih sering menemaninya, kita atau program-program TV yang sangat setia menemani anak kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
- Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tsb diatas.
- Ganti kegiatan menonton TV anak dengan kegiatan di rumah atau diluar rumah yang padat bagi anak-anak.
- Gantilah program TV di rumah dengan
film-film pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari film
kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
Kebiasaan 37 :
Mengajari anak untuk membalas
Bila anak kita dipukul oleh anak lain,
sering kita menjadi tidak sabar dan memprovokasi anak untuk membalas
dengan tindakan yang sama seperti anak lain itu. Alasan yang sering
kita utarakan adalah supaya ada keadilan, masing-masing merasakan
sakit.
Apa akibatnya?
Kita telah mendidik anak kita sendiri
untuk mendendam dengan selalu membalas segala bentuk pukulan atau
tindakan menyakiti lain yang diterimanya. Anak akan teringat terus
hal-hal yang diajarkan oleh kita tentang konsep membalas itu. Jangan
kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang kita
sampaikan kepadanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Lebih baik kita mengajarkan anak untuk
menghindari teman-temannya yang suka menyakiti. Lalu sampaikan pada
orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan
buruk dari anaknya dan ajak orang tua anak yang suka memukul untuk
mengikuti program parenting baik di radio maupun media lainnya.